Proudly Powered by Blogger!

Ad 468 X 60

Widgets

Menasehati Penguasa agar tak Sombong

Betapa penyayangnya Allah padaku, dalam keadaan lalai saja aku di tolongnya, apatah lagi kalau aku serius beribadah.

Menasehati Penguasa
Nama lengkapnya, Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim al-Azdl al-Balkhi, Ia adalah Zahid besar dari negeri Baik, Khurasan, Iran. Tidak ada catatan kapan dan di mana beliau dilahirkan. Sumber-sumber tasawuf menggambarkan diri Syaqiq sebagai orang yang berasal dari keluarga kaya dan berharta. Setelah meningkat dewasa, ia terjun dalam dunia perdagangan sehingga sering melakukan perjalanan ke berbagai negeri untuk membawa barang dagangan.


Karena sering bepergian dan tertarik pada banyak hal, Syaqiq sering merenung dan mengambil pelajaran-pelajaran yang baik dari berbagai pengalaman yang di jumpainya. Ini membuat dia tercerahkan dan ingin melakukan pertobatan sejati, serta ingin sekali mencurahkan kehidupannya untuk keagungan agama.

Disebutkan, kisah pertobatannya itu berawal dari perjalanan dagangnya ke Turkistan. Pada perjalanan itu ia berhenti pada sebuah kuil dan memperhatikan orang-orang yang sedang menyembah berhala di dalamnya. Syaqiq menegur penyembah berhala itu dan berkata "Sebenarnya yang menciptakan Anda adalah Tuhan, Yang Mahahidup, Mahakuasa, dan Mahatahu, sembahlah Dia. endaklah Anda malu, dan janganlah menyembah berhala, yang tidak dapat mendatangkan kebajikan atau mudharat kepadamu"

Penyembah berhala itu menjawab, "Jika benar perkataan Anda, mengapa Dia yang Anda maksud tidak sanggup memberi nafkah Anda sehari-hari di kota kediaman Anda sendiri? Masi perlukah Anda melakukan perjalanan dagang sejauh ini?

Jawaban tersebut menyentuh dan membuka kesadaran tertentu di hati Syaqiq. Selanjutnya dalam perjalanan pulang ke Balakh, Ia juga berjumpa penganut Zoroaster, dan terjadi pula dialog yang mengesankan bagi hati Syaqiq. Penganut Zoroaster itu bertanya, "Apa usaha Anda? Syaqiq menjawab, "Berdagang." Orang itu berkata lagi, "Jika Anda mencari rezeki yang belum ditakdirkan untuk Anda, sampai kiamat pun Anda tak akan mendapatkannya. Tapi bila ia telah ditakdirkan untuk Anda, Anda tidak perlu pergi kemana-mana, karena rezki itu akan datang sendiri."

Sementara masi memikirkan ide tentang rezeki yang ditakdirkan atau tidak ditakdirkan Tuhan itu, sampaila ia di kota Balakh. Di sana Syaqiq berjumpa lagi dengan pengalaman lain, tetangganya ditangkap dan dipukuli. Karena dituduh mencuri anjing kepunyaan pangeran kota Balakh. Tetangganya itu akhirnya meminta pertolongan atau jaminan kepada Syaqiq. Syaqiq mendatangi pangeran dan meminta pembebasan tetangganya itu dan berjanji akan mengembalikan anjing pangeran dalam waktu tiga hari. Tiga hari kemudian seseorang menemukan seekor anjing, dan berkata  dalam hati, "Anjing ini akan aku berikan kepada Syaqiq. Ia seoarang pemurah, tentu akan memberi imbalan kepadaku." Demikianlah, anjing itu diserahkannya kepada Syaqiq. Lalu diserahkanlah anjing itu kepada pangeran. Alangkah suka citanya pangeran.

Atas peristiwa itu, Syaqiq merenung dalam hati, "Dalam keadaan lalai saja aku telah diberi Tuhan pertolongan. Apalagi kalau aku mendekati-Nya dengan ibadah yang benar dan sempurna." Sejak itu Syaqiq menjadi ahli ibadah dan zuhud terhadap dunia dan seisinya.

Pada kisah lainnya diceritakan, suatu saat Syaqiq melihat seorang budak bermain dan bersenang-senang di masa paceklik dan orang pun senang menontonnya. "Kegiatan apakah yang kamu lakukan? Tidakkah kamu lihat keadaan manusia di masa paceklik ini? Si budak menjawab "Saya tidak memikirkan masa paceklik ini, karena tuan saya mempunyai ladang yang amat luas dan kami bebas mengambil apa saja yang kami butuhkan." jawab si budak.

Jawaban itu menggores sanubari Syaqiq. Ia lalu bergumam, "Jika tuan si budak memiliki ladang, bagaimanapun tuannya masih seorang yang miskin (karena masih manusia biasa). Dan dengan kondisi begitu saja si budak tidak pusing dengan rezekinya, maka bagaimana mungkin seorang muslim pusing dengan rezekinya sedangkan dia punya Tuhan, Yang Mahakaya, yang menciptakan alam semesta dan memiliki seluruh isinya?"

Masa-masa selanjutnya, semangat bertawakal kepada Allah melandasi perilaku dan aktivitas Syaqiq. Menurutnya, tawakal itu berarti menentramkan hati dengan apa yang dijanjikan Allah. Allah itu Mahakuasa. Allah berkuasa mengambil sesuatu dari seseorang dan memberikannya kepada orang lain.Jadi, tidak ada hak seorang hamba untuk iri, marah, ataupun dengki kepada orang lain dalam kehidupan ini, kerana apa yang diberikan oleh Allah kepada setiap makhluk-Nya merupakan bukti kekuasaan Allah. Allah yang mengatur dan memelihara, dan Allah yang memutuskan.

Keyakinan utama yang mendasari tawakal adalah keyakinan sepenuhnya akan kekuasaan dan kemahabesaran Allah SWT. Karena itulah tawakal merupakan bukti nyata dalam tauhid.

Di dalam batin seorang yang bertawakal tertanam iman kuat bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan Allah. Tidak seorang pun dapat berbuat dan menghasilkan sesuatu tanpa izin dan kehendak Allah SWT, baik berupa hal  yang memberi manfaat atau mudharat maupun yang menggembirakan dan mengecewakan. Sekali pun semua makhluk berusaha untuk memberikan yang bermanfaat kepada seseorang, tidak akan berhasil tanpa izin Allah. Begitu pun sebaliknya, andai seluruh makhluk ingin memudharatkan seseorang, jika tidak diizinkan oleh Allah tidak akan berhasil.

Tawakal yang benar akan membuahkan sikap zuhud. Zahid yang paling dekat kepada Nya adalah yang paling takut kepada-Nya. Zahid yang paling dicintai-Nya adalah yang paling baik beramal baginya. Zahid yang paling utama di sisi Allah adalah yang paling besar keinginan dan kecintaanya pada apa yang sediakan Allah. Zahid yang paling mulia adalah yang paling bertaqwa kepada Allah. Zaid yang paling sempurna adalah yang paling pemurah hatinya dan bersih dadanya, sedang yang paling sempurna itu adalah paling yakin. Keabsahan tawakal adalah tidak melakukan perbuatan maksiat, selalu menghindari diri dari yang dilarang dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah.

Sebagai seorang sufi besar di zamanya, Syaqiq tak segan menasehati Khalifah Harun Al-Rasyid. Ia memberi nasehat agar Harun Al-Rasyid meniru kesetiaan Abu Bakar; keadilan Umar; kesederhanan Usman; dan kebijaksanaan Ali. Juga agar menggunakan kekuasaan demi terlaksananyaperinta Allah, dan tidak menyombongkan diri dengan kerajaan yang besar. Nasehat yang relevan sampai kapan pun.

alKisah no. 23/6 Nov2006

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati
Author: Owner
Labirin Qalbu - Kisah Penyejuk Hati Penggugah Iman Read More →

0 comments: